PENGAKUAN
Oleh: Mela Ayu Nugraheni
Derasnya air hujan bagaikan mengguyur bumi.
Bau tanah menyerbak keluar. Suara air hujan yang gemericik menenangkan pikiran
yang gundah. Hari ini masih pukul 05.30. Masih terlalu pagi untuk hujan yang
begitu deras ini.
Terlihat
seorang gadis berseragam putih abu-abu
berjalan dibawah derasnya air hujan. Dia bernama Elsa. Gadis dengan
tinggi semampai, rambut hitam pendek yang terurai dan kulit putih bersih bak
wanita Cina. Di pipinya terdapat lesung pipit yang membuat wajahnya terlihat
semakin cantik dan menawan. Itulah mengapa dia sering disebut keturunan Cina
walaupun kedua orangtuanya adalah asli Indonesia. Jam tangan bermerek Alexander
Christine melingkar dipergelangan tangannya. Sepatu yang ia kenakanpun bermerek
Gosh. Tak kurang, tas yang ia bawapun bermerek Charles And Keith. Ya, dilihat
dari penampilan luarnya pun sudah terlihat jika dia adalah anak keluarga kaya.
Apa kalian tahu dia berjalan menuju
kemana? Dia berjalan hanya dari pintu teras rumahnya menuju mobil yang jaraknya
hanya 5 meter dan pula dia menggunakan payung. Bukankah tak ada salahnya jika
berlari sebentar dari teras menuju mobil yang jaraknya hanya 5 meter itu? Ya,
apa mau dikata? Begitulah Elsa. Hidup dalam kemanjaan. Saat hujan pun dia tidak
mau sampai seragamnya basah terkena satu tetesan air pun. Atau jangan-jangan ia
terkena penyakit Aquaphobia, penyakit ketakutan pada air? Entahlah, hanya dia
yang tahu.
Setelah masuk dalam mobil, dia menyuruh
sopirnya yang bernama Pak Usman untuk bergegas melajukan mobilnya menuju
sekolah.
“Pak, ayo buruan! Keburu telat nih ke
sekolah,” seru Elsa dengan nada tinggi
“Baik Non.”
Pak Usman segera melajukan mobil menuju
sekolah. Tiba-tiba.....
“Non. Non tunggu. Ini bekalnya tertinggal
Non,” Bi Suti berlari dari dalam rumah sambil berteriak-teriak dan
melambai-lambaikan tangan.
‘Aduh bibi ini. Memperlambat suasana deh,’
ucap Elsa dalam hati. “Iya Bi, iya bentar.”
Elsa membuka pintu mobil tanpa mau turun.
Terpaksa Bi Suti berlari hujan-hujanan menuju Elsa.
“Ini Non bekalnya. Dimakan ya, bibi sudah
siapkan sandwich kesukaan Non,” kata
Bi Suti ramah dan tersenyum.
“Iya iya. Udah sana. Aku sudah terlambat
ini. Bibi ah teriak-teriak segala. Mana bawa sini!” Elsa merebut tempat bekal
yang dibawa Bi Suti sambil menatap sinis.
“Tapi kan Non..........,” belum sampai Bi
Suti selesai bicara, Elsa sudah menutup pintu mobil.
BRAAKKK!!!!!
Pintu mobil sukses tertutup dengan rapat.
“Astaughfirullahaladzim,” Bi Suti menggeleng-gelengkan
kepala seraya mengelus dadanya.
“Ayo pak berangkat! Keburu si Bibi ngoceh
lagi.”
“Ba-baik Non Elsa.”
Pak Usman segera menancap gas mobil menuju
sekolah.
*Di dalam mobil*
Elsa sedang asyik bermain gadgednya. Dia
sedang chatting-an di Line dengan
teman-teman satu gengnya. Pak Usman bertanya tana mengalihkan pandangannya dari
depan.
“Non. Non tidak belajar?” tanya Pak Usman
halus.
“Malas ah, bosen. Mending main HP. Lebih
seru, hahahaha,” jawab Elsa lalu tertawa.
Pak Usman tak bertanya lagi. Toh jika ia
bertanya lagi, jawaban yang ia terima tak akan sebaik yang diharapkan.
Setelah 10 menit, akhirnya Elsa sampai di
sekolah. Dia segera turun dan membuka payungnya. Sebelum beranjak pergi, Elsa
berpesan pada Pak Usman.
“Pak, bilangin Mama nanti aku nggak usah
dijememput. Aku ada kerja kelompok. Pulangnya aku naik taksi.”
“Non yakin naik taksi? Tidak dijemput?
Kalau Non kenapa-napa bagaimana?”
“Iya, yakin. Sudahlah, aku mau masuk
kelas. Jangan lupa bilangin loh, Pak!” teriak Elsa sambil berlari memasuki
gerbang sekolah.
“Uh, sabar,” Pak Usman menunduk dan
menghela napas. Ia lalu pulang.
Hujan masih deras. Elsa bergegas menuju
kelas. Suasana yang dingin membuat para siswa enggan keluar kelas dan memilih
berada di dalam kelas ketika sampai disana. Kelas Elsa berada di lantai 3.
Membatnya semakin malas bersekolah karena harus bersusah payah naik tangga
menuju kelasnya di lantai 3.
Sesampainya di kelas, Elsa berjalan
didepan kelas dengan santai. Tak lupa sebelumnya ia menaruh payungnya diluar
kelas. Ia segera duduk di bangu baris kedua deret ketiga. Elsa duduk disebelah
Joana. Seperti biasanya, Joana selalu memanfaatkan waktu sebelum bel masuk
untuk tidur. Elsa jahil dan mengagetkannya.
“Kebakaran! Kebakaran! Tolong tolong!”
teriak Elsa di telinga Joana.
Joana kaget dan segera bangun dari tidur
lelapnya. “Hah? Kebakaran? Ayo selamatkan dirimu!” Joana menarik tangan Elsa
dan mengajaknya berlari.
“Dasar bodoh! Makanya jangan tidur melulu
dikelas, Jo!” Elsa menoel kening Joana.
“Hah? Gila ya kamu? Kaget tahu!” Joana
menatap sinis Elsa.
“Apa hah? Apa?” Elsa memanyun-manyunkan
bibirnya.
“Huh, menyebalkan,” Joana memalingkan
wajahnya.
“Eh Jo, lihat nih,” Elsa memamerkan dua
lembar kertas berbentuk persegi panjang.
“Apaan?” Joana masih marah
“Nih.” Elsa menyodorkan kertas tadi pada
Joana.
Seketika mata Joana membelak kaget.
Wajahnya memerah. “El-Elsa..... I-ini?” Joana tak bisa berkata-kata. Mulutnya
terasa bisu dan kaku sehingga sulit mengeluarkan satu katapun.
“Yap! Itu tiket konser EXO PLANET #2 – THE
EXO’luXion INA di ICE, BSD City, Tangerang bulan depan. Keren kan?” Elsa
tersenyum memamerkannya.
“Darimana kamu mendapatkannya, El? Ya
Tuhan, astaga. Aku benar-benar tidak peraya ini El,” Joana masih kaget menatap
kertas tadi.
“Dari Mama lah. Ya, aku merajuk Mama
sedikit lah dengan alasan aku takut tahun depan tidak dapat menyaksikan konser
EXO lagi, hehe.”
“Ini tiket yang kelas apa, El?”
“Kelas PINK lah,” jawab Elsa dengan
mengibaskan rambutnya.
“Hah? Tiket kelas PINK kan harganya
Rp2.550.000,00 El. Beneran?” Joana masih tidak percaya.
“Ya benar lah”
“Astaga. Kamu benar-benar mengejutkan,”
ucap Joana dengan mulut ternganga.
“Dan yang lebih mengejutkan, yang satu ini
untukmu Jo,” Elsa memberikan satu tiket
pada Joana.
“Serius? Ini buat aku?” Joana terpaku.
“Iya dong.”
“Ya ampun, makasih Elsaku yang imut,
cantik, baik, dan lucu. Aduh makasih,” Joana mencubit pipi Elsa.
“Baru muji ya kalau dikasih gratisan.
Dasar!”
“Hehehe. Eh ada PR loh,” seru Joana.
Elsa kaget. Seketika seperti terdengar
suara petir menyambar. Matanya melotot. “Hah? Beneran? PR apa?” mata Elsa
membelak kaget.
“Kimia.” Jawab Joana santai.
“Kamu sudah ngerjain?” tanya Elsa, masih
dengan raut wajah kaget.
“Belum lah.”
“Aku juga belum.”
“Darimana sejarahnya kamu ngerjain PR, El?
Dari Dinasti Ming? Baca buku saja jarang,” Joana menyindir Elsa sambil
menyenggol bahunya.
“Hey, enak saja. Mana mungkin?” bentak
Elsa.
“Sudahlah, ada si ‘Dungu’. Nanti kita
nyontek dia saja,” Joana memberi saran.
“Betul juga,” Elsa tersenyum. “Itu si
Dungu, ayo samperin,” ajak Elsa.
Mereka lalu menghampiri seseorang yang
mereka sebut ‘Dungu’. Olfi. Gadis berambut hitam panjang berkulit sawo matang
ini terkenal pintar. Ia sering mendapat peringkat satu di kelas. Namun, latar
belakangnya yang merupakan orang yang kurang mampu membuatnya sering dibully
dan diperlakukan semena-mena oleh teman-temannya. Tak terkecuali Elsa. Dia
membenci Olfi karena Olfi lebih pintar dan diperhatikan oleh guru-guru. Menurut
Elsa, dialah yang pantas dan seharusnya diperlakukan begitu. Elsa menganggap
bahwa Olfi tidak memiliki potensi dan bakat apapun. Yang ada dipikiran Elsa,
Olfi hanyalah anak orang miskin yang belagu. Itulah mengapa Elsa tidak menyukai
Olfi. Walau begitu, Olfi tetap menjalani hidup dan belajar dengan baik. Tak ia
hiraukan cemoohan teman-temannya. Ia menganggap itu hanya angin lalu saja.
Bagaikan pepatah, “Biar anjing menggonggong, khalifah tetap berlalu.” . Ia
tidak mengambil hati semua cemoohan dan ejekan yang ia terima. Lebih baik ia
belajar daripada memikirkan hal yang tidak berguna yang akan merubah sikap dan
hidupnya ssaat ini.
BRAAKKK!!!!!
Elsa menggebrak meja Olfi dengan keras.
Semua mata tertuju padanya. Meraka sudah terbiasa dengan perlakuan kasar Elsa
pada siapapun. Terutama pada Olfi. Mereka tidak berani marah maupun membela
Olfi dan memilih diam daripada berurusan dengan Elsa sang penguasa.
“Hei! Dungu!” bentak Elsa.
“Eh-eh i-iya, ada apa Elsa?” tanya Olfi
ketakutan.
“Nih,” Elsa menyodorkan buku miliknya.
“Kerjain! Awas kalau nggak,” ancam Elsa dengan mata melotot.
“Tapi kan.....”
“Nggak ada tapi-tapian. Kerjain atau....”
“Iya iya, baik.”
Olfi hanya bisa menuruti semua yang
diperintahkan Elsa. Jika ia tidak mau, Elsa mengancam akan membuatnya
dikeluarkan dari sekolah. Jika itu terjadi, tamatlah hidup Olfi.
Pelajaran kimia akan berlangsung seusai istirahat, Olfi masih punya
waktu untuk menyelesaikan PR Elsa. Ia tidak ingin semuanya kacau dan
berantakan. Lebih baik ia segera menyelesaikan, pikirnya. Entah sudah berapa
kali ia berdoa agar keajaiban datang padanya, namun apalah daya, seekor semut
lebih lemah dari seekor gajah.
“Nih, Elsa. PRmu sudah selesai,” Olfi
menyerahkan buku Elsa.
“Oke, sudah sana pergi!” usir Elsa.
Waktu berlalu dengan cepat. Pelajaran
kimia segera dimulai. Entah mengapa semuanya menjadi tegang, kecuali Elsa. Dia
benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dan tidak mau tahu.
“Siapkan kertas! Kita ulangan!” ujar Bu
Vina, guru kimia.
“Baik Bu.”
“Ulangan? Gila, aku belum belajar,” keluh
Elsa pada Joana.
“Udah, buka buku aja,” saran Joana.
“Benar juga kamu.”
10 menit berlalu,
ulangan masih berlangsung.
Elsa hanya menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. Ia tidak bisa mencerna satu soalpun. Matanya melirik Joana, namun
Joana sibuk berkutat dengan soal. Tak ada pilihan lain. Ia harus membuka buku.
Sebelum membuka buku, ia menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan keadaan
aman. Setelah ia rasa cukup aman, ia lalu membuka buku.
Olfi yang menyadarinya lalu menegur Elsa
dengan suara pelan. “Elsa, apa yang kamu lakukan?”
“Sssttt..... Diam!”
“Kamu tidak boleh curang,” tegur Olfi.
“Diam Dungu!”
Bu Vina yang curiga dengan gelagat Elsa
lalu menghampiri Elsa dan memeriksa laci mejanya. Dan benar saja, ada buku
catatan yang terbuka didalamnya.
“Apa-apaan ini, Elsa? Kamu menyontek?” Bu
Vina marah.
“Bukan begitu Bu. Saya bisa jelaskan,”
Elsa kaku.
“Ikut Ibu ke ruang BK sekarang!”
“Tapi Bu.....”
“Cepat!!” bentak Bu Vina.
“Ini semua gara-gara kamu, Olfi! Awas ya,”
seringai Elsa.
“Yang lain lanjutkan.”
Elsa lalu dibawa ke ruang BK. Ia dimarahi
karena menyontek. Mereka benar-benar geram karena ini bukan kali pertamanya
menyontek. Ini sudah peringatan yang ketiga kalinya. Elsa lalu diberi surat
yang isinya orang tuanya harus datang ke sekolah besok. Kemudian ia keluar dari
ruang BK dan kembali ke kelas.
“Elsa, gimana tadi?” tanya Joana.
“Biasa.” Jawab Elsa santai.
“Olfi, kutunggu di jembatan sepulang
sekolah!” tentang Elsa.
Olfi hanya bisa menunduk dan menelan
ludah. Tamatlah riwayatnya.
*Sepulang sekolah
di Jembatan*
Elsa menunggu Olfi di jembatan untuk
diberi pelajaran. Ia benar-benar membenci Olfi. Setelah beberapa saat, Olfi
datang.
“Ada apa?” tanya Olfi.
“Jangan banyak ta..........
Aaakkhh..........,” tiba-tiba Elsa terpeleset dan kepalanya membentur batu
besar sebelahnya. Darah segar mengalir deras daari kepalanya.
“Elsaaaaa!!!!!” teriak Olfi.
Olfi segera menelepon ambulans.
*Rumah Sakit*
Orang tua Elsa sudah berada disini karena
tadi Olfi menelepon mereka.
“Bagaimana keadaan Elsa, Olfi?”
“Dia kehilangan banyak darah, tapi saya
sudah mendonorkan darah saya, tante.” Jawab Olfi.
“Kamu baik sekali, terima kasih.”
“Sama-sama, Tante.”
“Mari masuk Tante. Elsa sudah siuman,”
ajak Olfi.
“Baiklah.”
Mereka lalu masuk dan melihat keadaan
Elsa.
“Seandainya Mama berterus terang dari
dulu,” isak Mama Elsa.
“Kenapa Ma?” tanya Elsa.
“Olfi adalah kakak kandungmu,”
“AAPPAA?????” Olfi dan Elsa kaget setengah
mati mendengarnya.
~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_
OK, bagian abstrak (pembuka) awal cerpen agak kurang tepat. ---> Derasnya air hujan bagaikan mengguyur bumi. Bau tanah menyerbak keluar. Suara air hujan yang gemericik menenangkan pikiran yang gundah. Kalau suasananya begini justru lebih cocok menggambarkan pikiran yang gundah, tidak tenang, resah, dan sejenisnya.
BalasHapus