Translate

Minggu, 13 Maret 2016

CERPENKU



PENGAKUAN
Oleh: Mela Ayu Nugraheni
     Derasnya air hujan bagaikan mengguyur bumi. Bau tanah menyerbak keluar. Suara air hujan yang gemericik menenangkan pikiran yang gundah. Hari ini masih pukul 05.30. Masih terlalu pagi untuk hujan yang begitu deras ini.
     Terlihat seorang gadis berseragam putih abu-abu  berjalan dibawah derasnya air hujan. Dia bernama Elsa. Gadis dengan tinggi semampai, rambut hitam pendek yang terurai dan kulit putih bersih bak wanita Cina. Di pipinya terdapat lesung pipit yang membuat wajahnya terlihat semakin cantik dan menawan. Itulah mengapa dia sering disebut keturunan Cina walaupun kedua orangtuanya adalah asli Indonesia. Jam tangan bermerek Alexander Christine melingkar dipergelangan tangannya. Sepatu yang ia kenakanpun bermerek Gosh. Tak kurang, tas yang ia bawapun bermerek Charles And Keith. Ya, dilihat dari penampilan luarnya pun sudah terlihat jika dia adalah anak keluarga kaya.
     Apa kalian tahu dia berjalan menuju kemana? Dia berjalan hanya dari pintu teras rumahnya menuju mobil yang jaraknya hanya 5 meter dan pula dia menggunakan payung. Bukankah tak ada salahnya jika berlari sebentar dari teras menuju mobil yang jaraknya hanya 5 meter itu? Ya, apa mau dikata? Begitulah Elsa. Hidup dalam kemanjaan. Saat hujan pun dia tidak mau sampai seragamnya basah terkena satu tetesan air pun. Atau jangan-jangan ia terkena penyakit Aquaphobia, penyakit ketakutan pada air? Entahlah, hanya dia yang tahu.
     Setelah masuk dalam mobil, dia menyuruh sopirnya yang bernama Pak Usman untuk bergegas melajukan mobilnya menuju sekolah.
     “Pak, ayo buruan! Keburu telat nih ke sekolah,” seru Elsa dengan nada tinggi
     “Baik Non.”
     Pak Usman segera melajukan mobil menuju sekolah. Tiba-tiba.....
     “Non. Non tunggu. Ini bekalnya tertinggal Non,” Bi Suti berlari dari dalam rumah sambil berteriak-teriak dan melambai-lambaikan tangan.
     ‘Aduh bibi ini. Memperlambat suasana deh,’ ucap Elsa dalam hati. “Iya Bi, iya bentar.”
     Elsa membuka pintu mobil tanpa mau turun. Terpaksa Bi Suti berlari hujan-hujanan menuju Elsa.
     “Ini Non bekalnya. Dimakan ya, bibi sudah siapkan sandwich kesukaan Non,” kata Bi Suti ramah dan tersenyum.
     “Iya iya. Udah sana. Aku sudah terlambat ini. Bibi ah teriak-teriak segala. Mana bawa sini!” Elsa merebut tempat bekal yang dibawa Bi Suti sambil menatap sinis.
     “Tapi kan Non..........,” belum sampai Bi Suti selesai bicara, Elsa sudah menutup pintu mobil.
BRAAKKK!!!!!
     Pintu mobil sukses tertutup dengan rapat.
     “Astaughfirullahaladzim,” Bi Suti menggeleng-gelengkan kepala seraya mengelus dadanya.
     “Ayo pak berangkat! Keburu si Bibi ngoceh lagi.”
     “Ba-baik Non Elsa.”
     Pak Usman segera menancap gas mobil menuju sekolah.
*Di dalam mobil*
     Elsa sedang asyik bermain gadgednya. Dia sedang chatting-an di Line dengan teman-teman satu gengnya. Pak Usman bertanya tana mengalihkan pandangannya dari depan.
     “Non. Non tidak belajar?” tanya Pak Usman halus.
     “Malas ah, bosen. Mending main HP. Lebih seru, hahahaha,” jawab Elsa lalu tertawa.
     Pak Usman tak bertanya lagi. Toh jika ia bertanya lagi, jawaban yang ia terima tak akan sebaik yang diharapkan.
     Setelah 10 menit, akhirnya Elsa sampai di sekolah. Dia segera turun dan membuka payungnya. Sebelum beranjak pergi, Elsa berpesan pada Pak Usman.
     “Pak, bilangin Mama nanti aku nggak usah dijememput. Aku ada kerja kelompok. Pulangnya aku naik taksi.”
     “Non yakin naik taksi? Tidak dijemput? Kalau Non kenapa-napa bagaimana?”
     “Iya, yakin. Sudahlah, aku mau masuk kelas. Jangan lupa bilangin loh, Pak!” teriak Elsa sambil berlari memasuki gerbang sekolah.
     “Uh, sabar,” Pak Usman menunduk dan menghela napas. Ia lalu pulang.
     Hujan masih deras. Elsa bergegas menuju kelas. Suasana yang dingin membuat para siswa enggan keluar kelas dan memilih berada di dalam kelas ketika sampai disana. Kelas Elsa berada di lantai 3. Membatnya semakin malas bersekolah karena harus bersusah payah naik tangga menuju kelasnya di lantai 3.
     Sesampainya di kelas, Elsa berjalan didepan kelas dengan santai. Tak lupa sebelumnya ia menaruh payungnya diluar kelas. Ia segera duduk di bangu baris kedua deret ketiga. Elsa duduk disebelah Joana. Seperti biasanya, Joana selalu memanfaatkan waktu sebelum bel masuk untuk tidur. Elsa jahil dan mengagetkannya.
     “Kebakaran! Kebakaran! Tolong tolong!” teriak Elsa di telinga Joana.
     Joana kaget dan segera bangun dari tidur lelapnya. “Hah? Kebakaran? Ayo selamatkan dirimu!” Joana menarik tangan Elsa dan mengajaknya berlari.
     “Dasar bodoh! Makanya jangan tidur melulu dikelas, Jo!” Elsa menoel kening Joana.
     “Hah? Gila ya kamu? Kaget tahu!” Joana menatap sinis Elsa.
     “Apa hah? Apa?” Elsa memanyun-manyunkan bibirnya.
     “Huh, menyebalkan,” Joana memalingkan wajahnya.
     “Eh Jo, lihat nih,” Elsa memamerkan dua lembar kertas berbentuk persegi panjang.
     “Apaan?” Joana masih marah
     “Nih.” Elsa menyodorkan kertas tadi pada Joana.
     Seketika mata Joana membelak kaget. Wajahnya memerah. “El-Elsa..... I-ini?” Joana tak bisa berkata-kata. Mulutnya terasa bisu dan kaku sehingga sulit mengeluarkan satu katapun.
     “Yap! Itu tiket konser EXO PLANET #2 – THE EXO’luXion INA di ICE, BSD City, Tangerang bulan depan. Keren kan?” Elsa tersenyum memamerkannya.
     “Darimana kamu mendapatkannya, El? Ya Tuhan, astaga. Aku benar-benar tidak peraya ini El,” Joana masih kaget menatap kertas tadi.
     “Dari Mama lah. Ya, aku merajuk Mama sedikit lah dengan alasan aku takut tahun depan tidak dapat menyaksikan konser EXO lagi, hehe.”
     “Ini tiket yang kelas apa, El?”
     “Kelas PINK lah,” jawab Elsa dengan mengibaskan rambutnya.
     “Hah? Tiket kelas PINK kan harganya Rp2.550.000,00 El. Beneran?” Joana masih tidak percaya.
     “Ya benar lah”
     “Astaga. Kamu benar-benar mengejutkan,” ucap Joana dengan mulut ternganga.
     “Dan yang lebih mengejutkan, yang satu ini untukmu  Jo,” Elsa memberikan satu tiket pada Joana.
     “Serius? Ini buat aku?” Joana terpaku.
     “Iya dong.”
     “Ya ampun, makasih Elsaku yang imut, cantik, baik, dan lucu. Aduh makasih,” Joana mencubit pipi Elsa.
     “Baru muji ya kalau dikasih gratisan. Dasar!”
     “Hehehe. Eh ada PR loh,” seru Joana.
     Elsa kaget. Seketika seperti terdengar suara petir menyambar. Matanya melotot. “Hah? Beneran? PR apa?” mata Elsa membelak kaget.
    “Kimia.” Jawab Joana santai.
    “Kamu sudah ngerjain?” tanya Elsa, masih dengan raut wajah kaget.
     “Belum lah.”
     “Aku juga belum.”
     “Darimana sejarahnya kamu ngerjain PR, El? Dari Dinasti Ming? Baca buku saja jarang,” Joana menyindir Elsa sambil menyenggol bahunya.
     “Hey, enak saja. Mana mungkin?” bentak Elsa.
     “Sudahlah, ada si ‘Dungu’. Nanti kita nyontek dia saja,” Joana memberi saran.
     “Betul juga,” Elsa tersenyum. “Itu si Dungu, ayo samperin,” ajak Elsa.
     Mereka lalu menghampiri seseorang yang mereka sebut ‘Dungu’. Olfi. Gadis berambut hitam panjang berkulit sawo matang ini terkenal pintar. Ia sering mendapat peringkat satu di kelas. Namun, latar belakangnya yang merupakan orang yang kurang mampu membuatnya sering dibully dan diperlakukan semena-mena oleh teman-temannya. Tak terkecuali Elsa. Dia membenci Olfi karena Olfi lebih pintar dan diperhatikan oleh guru-guru. Menurut Elsa, dialah yang pantas dan seharusnya diperlakukan begitu. Elsa menganggap bahwa Olfi tidak memiliki potensi dan bakat apapun. Yang ada dipikiran Elsa, Olfi hanyalah anak orang miskin yang belagu. Itulah mengapa Elsa tidak menyukai Olfi. Walau begitu, Olfi tetap menjalani hidup dan belajar dengan baik. Tak ia hiraukan cemoohan teman-temannya. Ia menganggap itu hanya angin lalu saja. Bagaikan pepatah, “Biar anjing menggonggong, khalifah tetap berlalu.” . Ia tidak mengambil hati semua cemoohan dan ejekan yang ia terima. Lebih baik ia belajar daripada memikirkan hal yang tidak berguna yang akan merubah sikap dan hidupnya ssaat ini.
BRAAKKK!!!!!
     Elsa menggebrak meja Olfi dengan keras. Semua mata tertuju padanya. Meraka sudah terbiasa dengan perlakuan kasar Elsa pada siapapun. Terutama pada Olfi. Mereka tidak berani marah maupun membela Olfi dan memilih diam daripada berurusan dengan Elsa sang penguasa.
     “Hei! Dungu!” bentak Elsa.
     “Eh-eh i-iya, ada apa Elsa?” tanya Olfi ketakutan.
     “Nih,” Elsa menyodorkan buku miliknya. “Kerjain! Awas kalau nggak,” ancam Elsa dengan mata melotot.
     “Tapi kan.....”
     “Nggak ada tapi-tapian. Kerjain atau....”
     “Iya iya, baik.”
     Olfi hanya bisa menuruti semua yang diperintahkan Elsa. Jika ia tidak mau, Elsa mengancam akan membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Jika itu terjadi, tamatlah hidup Olfi.
     Pelajaran kimia akan berlangsung seusai istirahat, Olfi masih punya waktu untuk menyelesaikan PR Elsa. Ia tidak ingin semuanya kacau dan berantakan. Lebih baik ia segera menyelesaikan, pikirnya. Entah sudah berapa kali ia berdoa agar keajaiban datang padanya, namun apalah daya, seekor semut lebih lemah dari seekor gajah.
     “Nih, Elsa. PRmu sudah selesai,” Olfi menyerahkan buku Elsa.
     “Oke, sudah sana pergi!” usir Elsa.
     Waktu berlalu dengan cepat. Pelajaran kimia segera dimulai. Entah mengapa semuanya menjadi tegang, kecuali Elsa. Dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dan tidak mau tahu.
     “Siapkan kertas! Kita ulangan!” ujar Bu Vina, guru kimia.
     “Baik Bu.”
     “Ulangan? Gila, aku belum belajar,” keluh Elsa pada Joana.
     “Udah, buka buku aja,” saran Joana.
     “Benar juga kamu.”
10 menit berlalu, ulangan masih berlangsung.
     Elsa hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak bisa mencerna satu soalpun. Matanya melirik Joana, namun Joana sibuk berkutat dengan soal. Tak ada pilihan lain. Ia harus membuka buku. Sebelum membuka buku, ia menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan keadaan aman. Setelah ia rasa cukup aman, ia lalu membuka buku.
     Olfi yang menyadarinya lalu menegur Elsa dengan suara pelan. “Elsa, apa yang kamu lakukan?”
     “Sssttt..... Diam!”
     “Kamu tidak boleh curang,” tegur Olfi.
     “Diam Dungu!”
     Bu Vina yang curiga dengan gelagat Elsa lalu menghampiri Elsa dan memeriksa laci mejanya. Dan benar saja, ada buku catatan yang terbuka didalamnya.
     “Apa-apaan ini, Elsa? Kamu menyontek?” Bu Vina marah.
     “Bukan begitu Bu. Saya bisa jelaskan,” Elsa kaku.
     “Ikut Ibu ke ruang BK sekarang!”
     “Tapi Bu.....”
     “Cepat!!” bentak Bu Vina.
     “Ini semua gara-gara kamu, Olfi! Awas ya,” seringai Elsa.
     “Yang lain lanjutkan.”
     Elsa lalu dibawa ke ruang BK. Ia dimarahi karena menyontek. Mereka benar-benar geram karena ini bukan kali pertamanya menyontek. Ini sudah peringatan yang ketiga kalinya. Elsa lalu diberi surat yang isinya orang tuanya harus datang ke sekolah besok. Kemudian ia keluar dari ruang BK dan kembali ke kelas.
     “Elsa, gimana tadi?” tanya Joana.
     “Biasa.” Jawab Elsa santai.
     “Olfi, kutunggu di jembatan sepulang sekolah!” tentang Elsa.
     Olfi hanya bisa menunduk dan menelan ludah. Tamatlah riwayatnya.
*Sepulang sekolah di Jembatan*
     Elsa menunggu Olfi di jembatan untuk diberi pelajaran. Ia benar-benar membenci Olfi. Setelah beberapa saat, Olfi datang.
     “Ada apa?” tanya Olfi.
     “Jangan banyak ta.......... Aaakkhh..........,” tiba-tiba Elsa terpeleset dan kepalanya membentur batu besar sebelahnya. Darah segar mengalir deras daari kepalanya.
     “Elsaaaaa!!!!!” teriak Olfi.
     Olfi segera menelepon ambulans.
*Rumah Sakit*
     Orang tua Elsa sudah berada disini karena tadi Olfi menelepon mereka.
     “Bagaimana keadaan Elsa, Olfi?”
     “Dia kehilangan banyak darah, tapi saya sudah mendonorkan darah saya, tante.” Jawab Olfi.
     “Kamu baik sekali, terima kasih.”
     “Sama-sama, Tante.”
     “Mari masuk Tante. Elsa sudah siuman,” ajak Olfi.
     “Baiklah.”
     Mereka lalu masuk dan melihat keadaan Elsa.
     “Seandainya Mama berterus terang dari dulu,” isak Mama Elsa.
     “Kenapa Ma?” tanya Elsa.
     “Olfi adalah kakak kandungmu,”
     “AAPPAA?????” Olfi dan Elsa kaget setengah mati mendengarnya.

~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_~_

1 komentar:

  1. OK, bagian abstrak (pembuka) awal cerpen agak kurang tepat. ---> Derasnya air hujan bagaikan mengguyur bumi. Bau tanah menyerbak keluar. Suara air hujan yang gemericik menenangkan pikiran yang gundah. Kalau suasananya begini justru lebih cocok menggambarkan pikiran yang gundah, tidak tenang, resah, dan sejenisnya.

    BalasHapus